PDM Kabupaten Subang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Subang
.: Home > Berita > MENANGKAL GEJALA APOKALIPTIK KEAGAMAAN

Homepage

MENANGKAL GEJALA APOKALIPTIK KEAGAMAAN

Sabtu, 15-10-2016
Dibaca: 607

        Para pengikut militan ajaran Kangjeng Taat Pribadi, banyak yang tak mau beranjak dari Padepokan meskipun ajaran Dimas Kangjeng Taat Pribadi, dinyatakan sesat oleh MUI. (Pasundan Ekspres, 5/10/2016 hal 2). Fenomena ini semakin menguat setelah beberapa bulan yang lalu. Masyarakat dihebohkan oleh gerakan fajar nusantara (gafatar), yang juga difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia.

        Padepokan sendiri pada asalnya merupakan tempat untuk wisata rohani dan spiritual refreshing yang menandakan bahwa manusia modern merasa terasing dengan kehidupan yang serba memuja materialisme dan kebendaan yang terbalut alam individualisme dan konsumerisme.

        Sayang seribu sayang, maksud diri hendak melepaskan dari jerat hedonisme malah terperosok pada penyakit kultus yang berbau apokaliptik. Ibarat pepatah, lepas dari mulut buaya masuk mulut harimau. Mungkin itulah yang dialami oleh para korban pengikut ajaran Gatot Brajamusti dan Dimas Kangjeng serta Padepokan lainnya.

         Masyarakat memang secara sosiologis menurut Mukhtar Lubis, mempunyai ciri percaya pada klenik dan takhayul. Maka tak heran jika sebagian para calon peserta pilkada serentak ramai-ramai mendatangi paranormal, padepokan dan makam-makam keramat. Ada yang bertapa, mandi di air tujuh sumur, dan meminta kepada orang-orang yang telah meninggal.

         Tanpa bermaksud menghakimi keyakinan mereka, yang jelas patus dipertanyakan kemampuan rasionalitas dan akal sehat mereka dalam menuntaskan berbagai permasalahan di multi sektor saat mereka benar-benar terpilih dan memimpin.

          Kembali kepada tragedi-tragedi yang terjadi di seputar Padepokan, tragedi pembunuhan dan penipuan sering berkedok agama. Sehingga para pengikut yang fanatik tidak punya pilihan selain kepasrahan total kepada sang pemimpin. Dalam kasus Dimas Kanjeng misalnya, penangkapan Guru Spiritual tersebut tak dipercayai oleh murid-murid setianya. Mereka menganggap bahwa yang ditangkap hanya bayangannya dan jelmaannya. Mereka meyakini bahwa guru mereka sedang berada di tanah suci, sehingga mereka enggan meninggalkan tenda-tenda sekitar padepokan, karena menunggu pemimpin mereka kembali ke padepokan.

           Secara spiritual maraknya padepokan bak jamur di musim hujan diakibatkan oleh disfungsinya atau kurang optimalnya peran dan fungsi-fungsi rumah-rumah peribadatan. Masjid-masjid atau gereja-gereja hanya di datangi pada acara-acara besar keagamaan atau acara ritual sakral keluarga seperti perkawinan, pemakaman. Bahkan untuk yang disebut terakhir telah diambil alih oleh pelayanan perawatan jenazah sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar.

           Masjid-masjid atau gereja-gereja hanya menjadi tempat pavorit para lansia. Sementara kalangan muda lebih suka nongkrong cafe, warkop, mall, bioskop atau stadion olahraga. Bahkan dalam pengamatan terakhir, anak muda lebih gandrung dengan aplikasi gadget dan smartphone dari pada memegang dan mengkaji kitab suci.

          Ini bukan hanya salah kaum muda, tapi bisa jadi kesalahan kita semua. Materi keagamaan yang disampaikan jarang yang menarik dan bermakna. Demikian juga metode yang disampaikan jarang yang menyentuh hajat hidup dan interes kaum muda. Salah satu contoh kongkrit yang kita sering alami adalah materi khutbah jum’at yang itu-itu saja. Sejak kita duduk di bangku sekolah dasar sampai sarjana dan bekerja. Pantas saja para hadirin banyak yang mengantuk dan tak antusias. Karena miskin inovasi dan pemaknaan tafsir yang kreatif dan solutif.

          Menurut Ridwan al-Makasari, saat ini terjadi krisis identitas yang melanda dunia pos modern. Di balik pesona dunia, janji-janji kebebasan dan pluralism, dunia diliputi keraguan dan kekaburan makna. Jika individu gagal menernihkannya maka mereka menuju keberagamaan instan yang anti rasional. Keberagamaan instan seperti ini bercirikan lari dari kebebasan , seraya menyerahkan dirinya tanpa reserve dan kritik kepada suatu otoritas atau kelompok tertentu yang menjanjikan.

Secara lebih terperinci, Nurcholis Madjid menjelaskan ciri-ciri gejala penyimpangan keagamaan/kultus (cult) yaitu:

1.       Kultus sebagai bentuk pemujaan selalu berpusat pada otoritas pribadi sang pemimpin. Ia mencengkram para pengikutnya

          sehingga tumbuh mind set kepatuhan, ketundukan dan ketergantungan kepadanya yang kuat.

2.       Karena itu kultus selalu membentuk sebuah komunitas “orang yang percaya” dengan pola organisasi yang ketat,

          yang sedikit sekali member kemungkinan anggotanya keluar.

3.       Gabungan antara otoritarianisme sang pemimpin dengan pola keorganisasian yang ketat itu menghasikan suatu rahasia.

          Dalam konteks Dimas Kangjeng misalnya, Ia tak bisa ditemui selama 5 tahun.

4.       Mengembangkan pandangan-pandangan dan sikap-sikap anti sosial.

5.       Karena factor-faktor tersebut kejahatan sulit dilacak.

6.       Mengajarkan pandangan dunia yang apokaliptik (dunia akan segera binasa/kiamat)

7.       Keyakinan dan pandangan hidup tentang mesianisme (kedatangan juru selamat di akhir zaman).

          Dengan melihat beberapa ciri di atas, semua masyarakat agar berhati-hati dan tak mudah tergiur dengan modus-modus penipuan yang mengatasnamakan agama seperti padepokan-padepokan yang hanya meraup keuntungan pribadi dengan jubah spiritual, yang ujung-ujungnya duit (UUD) dan Ujung-ujungnya sex (UUS). Semoga masyarakat kita sadar dan tercerahkan. Wallahu A'lam

 

 

 


Tags: maraknya aliran sesat dan padepokan klenik
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: opini



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website