PDM Kabupaten Subang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Subang
.: Home > Berita > HIJRAH DAN REVOLUSI MENTAL

Homepage

HIJRAH DAN REVOLUSI MENTAL

Minggu, 09-10-2016
Dibaca: 533

Hilang satu, tumbuh seribu begitulah kira-kira kalimat yang pantas untuk menggambarkan perilaku koruptif para oknum di negeri ini. Penyebutan oknum pun akan semakin dianggap biasa karena pemberitaan perilaku negatif  pejabat Negara yang menyimpang kian akrab dan dekat dengan tontonan kita.

Setelah Mahkamah Konstitusi, pada beberapa tahun lalu, kini giliran lembaga DPD yang tercoreng oleh perilaku oknum pemangku jabatannya. Sulit dipercaya memang karena kasus korupsi di negeri ini seperti menunggu giliran. Ada yang selamat dan ada yang apes itu saja asumsi sederhananya.

Belum lagi korupsi daerah-daerah. Lebih marak setelah pilkada, sebanding lurus dengan cost pilkada yang makin tinggi. Karena Negara kesatuan Republik Indonesia mayoritas dihuni oleh muslim yang sekarang sedang berada di penghujung tahun 1437 H, alangkah baiknya kita melakukan evaluasi atas perilaku negative yang menyergap bangsa kita mulai dari pejabat Negara hingga rakyat biasa.

Istilah Tahun Hijriah & sendiri adalah prakarsa dari Umar bin Khattab yang mengusulkan perhitungan kalender qamariyah dihitung oleh hijrahnya Nabi Saw dari Mekkah ke Madinah. Sebagian sahabat yang lain mengusulkan dari tahun kenabian yaitu saat nabi Muhammad pertama kali menerima wahyu. Sahabat yang lain mengusulkan dari kelahiran Nabi. Saw. Yang jelas pemilihan penaggalan perhitungan bulan (qamariyah) yang digagas oleh Umar bin Khattab diapresiasi oleh tokoh revolusioner Iran, Ali Shariati. Beliau menulis sebuah karya yang spesifik mengulas sejarah Nabi dari hijrah hingga wafat.

Tentu ada alasan tertentu dibalik ulasannya tersebut karena berdasarkan penelusurannya, bangsa-bangsa besar manapun yang maju, berkembang dan sampai pada taraf peradaban yang tinggi melaui proses Hijrah. Hijrah yang dimaksud tidaklah selalu beriontasi pada Hijrah fisik seperti Nabi Saw dari Mekkah ke Madinah. Karena Nabi Akhir zaman sendiri mengatakan,Tidak ada Hijrah setelah Futuh Mekkah (La hijrata ba'da al-fathi). Tetapi yang kita bahasa kali ini adalah hijrah substansial yang oleh Presiden Jokowi dan Menteri Sumber Daya Manusia galakan adalah gerakan revolusi mental.

Kita kembali kepada analisa teksnya, Ali Syariati yang menjelaskankata "paysan"dalam bahasa Rusia, adalah petani yang tak bisa meninggalkan tanah dan ladangnya. Karena keterikatan kepada tanahnya, maka pola pikir dan perilakunya tak jauh dari tempat tinggalnya.Dan dalam sejarahnya petani termasuk di negeri ini sampai sekarang adalah pencari keadilan tiada henti.Meskipun hampir selalu merugi tiap tahun karena harga gabah murah misalnya, mereka tak bosan dan jenuh untuk mengolah tanah dan tanaman.

Teori keterikatan pada tanah di atas jika kita terjemahkandalam konteks pemberantasan korupsi, adalah pergantian pejabat publik melalui berbagai mekanisme dan prosedur demokrasi sedikit sekali melahirkan pemimpin yang meninggalkan budaya koruptif yang notabene warisan kolonial sejak zaman VOC. Dalam konteks pembangunan bangsa, tentu kita tidak menolak negara kita menjadi negara agro industri, tapi berbudaya madani. Daripada berupaya mensejajarkan diri dengan bangsa lain sebagai negara industri meskipun statusnya sebagai user dan konsumen yang bermental agraris.

Secanggih apa pun suprastruktur kenegaraan kita guna mengelola dan membangun infrastruktur jika masih menggunakan pola dan budaya agraris dengan pendekatan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) bukan meritokrasi maka sampai kapan pun akan tetap berkubang dan terjerembab pada lubang yang sama. Yaitu lubang korporatokrasi yang berjubah demokrasi. Demokrasi bukan lagi kedaulatan rakyat tapi kedaulatan perusahaan besar (huge and high corporate).

Menurut Amin Rais, gabungan antara korporasi besar, kekuatan politik pemerintah, kekuatan perbankan, kekuatan militer, kekuatan media massa, dan kecanggihan para intelektual penghamba kekuasaan merupakan kekuatan yang sangat dahsyat untuk menjalankan imprealisme ekonomi terhadap Negara-negara berkembang. Namun semua itu takkan berbuat banyak jika mereka tak didukung oleh para pemimpin yang bermental inlander.

Istilah inlander sendiri menurut penulis buku Selamatkan Indonesia di atas, merupakan istilah warisan zaman penjajahan yang dialamatkan kepada anak-anak bangsa yang penakut, merasa inferior, didepan penjajah, selalu jadi pecundang serba nrimo, bodoh dsb.

Maka lihat contoh kongkretnya dari kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan akibat kebakaran hutan yang  tiap tahun tahun terjadi.  Belum lagi bencana longsor dan banjir akibat alih fungsi lahan yang tak sesuai AMDAL nyata. Berapa oknum pejabat yang masuk penjara dan berapa pula yang melenggang bebas. Bahkan dugaan suap yang melibatkan mantan ketua DPD RI pun sebenarnya terkait dengan impor gula. Sudah menyandang status terdakwa, pelaku suap masih berani melobi pucuk pimpinan salah satu lembaga Negara yang terhormat.

Maka rasional sekali sampai presiden Jokowi, menghimbau kepada pejabat Negara siapapun dia agar menyetop korupsi. Semoga imbauannya diindahkan oleh para pemangku kekuasaan di negeri ini. Tidak seperti imbauan pendahulunya.

Semua mungkin bukan tak mengindahkan titah presiden, permasalahannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jika satu dua  masuk penjara itu oknum. Tapi sistem demokrasi semu telah menjebloskan 300 kepala daerah ke penjara. Menurut Dzulkifli Hasan, ada perselingkuhan antara demokrasi dan pemilik modal. Terjadi perselingkuhan demokrasi yang melahirkan kesenjangan. Karena saat ini ada demokrasi kerja sama dengan pemilik modal. Mentalnya ingin cepat jadi bupati, cepat kaya. Akhirnya kini menjadi demokrasi uang yang semakin mahal," tutur Zulkifli saat berorasi di perayaan Dies Natalis ke-51 Universitas Lampung, Bandar Lampung, Kompas (22/9/2016).

Tahapan pilkada serentak telah dimulai, saatnya bangsa Indonesia berbenah dalam pemberantasan korupsi. Karena pemicu korupsi benih-benihnya tertanam melalui pilkada, berupa money politik, kongkalikong dengan pengusaha hitam, penggunaan fasilitas Negara oleh petahana, berkolaborasi dengan pengemplang pajak dan sebagainya.

Sudah saatnya partai-partai dan masyarakat menciptakan budaya dan iklim yang anti korupsi dengan minimal merealisasikan dua agenda pertama:

1.    Revolusi mental budaya transaksional: Inilah salah satu factor yang menyebabkan pejabat terpilih tersandera oleh kepentingan tim sukses dan para investor cost politiknya. Jangan merealisasikan program kerja yang sesuai misi dan visinya, justeru malah menjadi “budak” dari kepentingan kroni dan golongan yang mengusungnya untuk mengembalikan modal dan meraup keuntungan pribadi dan golongan bukan kepentingan rakyat, pemilik kedaulatan sejati.

2.    Revolusi mental budaya inlander: Terutama para pemimpinnya. Sebuah kisah menarik diceritakan Gubernur NTB yang pada tahun lalu provinsinya suplus beras. Tapi ada oknum-oknum di bulog yang melobi kesana-kesini agar impor beras masuk NTB. Sang gubernur bersikukuh dan melaporkan langsung ke Presiden Jokowi tentang oknum bidang pangan yang kasak-kusuk tersebut.

Semoga di awal tahun baru Hijriah 1438 H, melaui proses demokrasi serentak terbesar di dunia, mampu menghasilkan pemimpin yang merdeka dan bebas dari budaya transaksional dan budaya mental inlander.

 

 


Tags: hijrah, revolusi mental
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori: opini



Arsip Berita

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website